Tawakkal sering diucapkan banyak orang di setiap pagi dan moment. Tapi, sedikit dari mereka yang memahami maknanya. Lalu, di antara yang sedikit ini, sedikit pula yang menerapkannya dan merubahnya dari ungkapan kata menjadi realitas konkrit di kehidupannya bersama dirinya sendiri, Allah Ta’ala, dan manusia.
Tawakkal ialah Anda melimpahkan seluruh urusan Anda kepada Allah Ta’ala. Tawakkal juga berarti percaya kepada Allah Ta’ala, beriman kepada kemampuann-Nya, kekuatan, dan ilmu-Nya. Jadi, tawakkal ialah bersandar secara total kepada Allah Ta’ala dan hasilnya ialah beriman secara nyata sebagian nama dan sifat-Nya.
Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Tawakkal itu separoh agama dan separoh lainnya ialah inabah (taubat). Agama itu ibadah dan isti’anah (minta pertolongan). Tawakkal ialah minta pertolongan dan inabah ialah ibadah.”
Jika Anda minta pertolongan kepada Allah Ta’ala, itu berarti Anda mengakui diri Anda lemah dan bodohnya, beriman kepada ilmu Allah dan kekuasaan-Nya. Lalu, Anda tunduk kepada-Nya, minta pertolongan-Nya, dan mencintai-Nya. Itu semua makna ibadah.
Nabi Yusuf Alahis Salam dan Dua Sahabatnya
Di tafsirnya yang bermutu, Ibnu Al-Qayyim rahumahullah menguatkan pendsapat bahwa hukuman Allah Ta’ala kepada nabi Yusuf Alaihi Salam berupa mendekam beberapa tahun di penjara disebabkan beliau minta pertolongan kepada manusia, sebelum kepada Allah Ta’ala. Hal itu terjadi, saat Nabi Yusuf berkata kepada sahabatnya, yang beliau yakini akan bebas,
“Terangkang keadaanku pada tuanmu.”
Yang dimaksud dengan kata tuanmu pada ayat ialah rajamu. Allah Ta’ala berfirman,
“Maka setan menjandikannya lupa ingat Tuhannya.” (Yusuf: 42).
Maksudnya, setan membuat Nabi Yusuf Alaihis Salam lupa tidak minta pertolongan kepada Allah Ta’ala dengan menyebut Tuhan hakikinya dan malah minta pertolongan kepada manusia. Allah ta’ala berfirman,
“Karena itu, dia (Yusuf) berasa di penjara selama beberapa tahun.” (Yusuf: 42).
Allah Ta’ala tidak rela seseorang minta pertolongan kepada selain Dia, karena selain Dia tidak punya daya dan upaya. Selain Dia, kendati punya kekuatan digdaya, kekuasaan tidak terbatas, dan persenjataan modern, namun ia tidak lebih dari salah seorang hamba-Nya, di mana seluruh gerakan, bisikan, dan keinginannya berada di bawah keinginan dan kekuasaan Allah Ta’ala.
Maryam Menggoyang Pohon Kurma
Kita kagum dengan firman Allah Ta’ala di surat Maryam,
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (Maryam: 25).
Bagaimana mungkin Maryam dalam kondisi nifas, lelah, dan capek setelah melahirkan, hingga tidak dapat bergerak sedikit pun, tapi mampu menggoyangkan pohon kurma? Padahal, kita tahu pohon kurma itu pohon paling kokoh dan akar-akarnya paling kuat dibandingkan akar-akar pohon lain? Setelah itu, tandan pohon kurma, yang perlu digoyang agar kurma jatuh tentu tinggi sekali, hingga tidak mampu dijangkau tangan? Bagaimana Maryam, yang notebene wanita, yang di antara karakternya lemah, ditambah dengan kondisi lemah setelah melahirkan dan hamil, serta kondisi kejiwaan tidak ideal sebab ia ketakutan dituduh berzina oleh keluarganya padahal ia orang suci, tapi ia sanggup menggoyangkan pohon kurma?
Itulah ketentuan Allah Ta’ala dalam mencurahkan tenaga, agar makna hakiki tawakkal terealisir dengan manis. Karena itu, orang yang bertawakkal kepada Allah Ta’ala harus mencurahkan tenaga dan berusaha. Inilah ketetapan Allah Ta’ala. Makna ini terlihat dengan jelas di banyak ayat Al-Qur’an dan sirah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kita lihat Allah Ta’ala berfirman,
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tapi Allah yang melempar.” (Al-Anfal: 17).
Itu terjadi setelah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihis wa Sallam mengambil segenggam tanah dan melemparkannya ke wajah orang-orang kafir di salah satu perang. Lalu, tanah mengenai mata seluruh orang kafir dan menjadi salah satu sebab kemenangan kaum Muslim. Allah Ta’ala menghendaki sebab tersebut pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu melempar segenggam tanah, sedang pembiri kemenangan hakiki adalah Allah Ta’ala sendiri. Karena itu, Allah Ta’ala tidak “memperhitungkan” lemparan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan “menganggap” lemparan-Nya. Sebab, setelah bertawakkal kepada Allah Ta’ala, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menambahkan suatu apapun pada usaha beliau. Hal yang sama terjadi pada tongkat Nabi Musa Alaihis Salam.
Ah, Seandainnya Kita bersama Mereka!
Sungguh berbahagia orang yang menerapkan makna hakiki tawakkal di seluruh aspek kehidupannya, karena ada berbagai kabar gembira untuknya:
1. Ia punya kas besar masuk kelompok tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab, seperti disebutkan di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta ayat,
“Dan mereka bertawakkal kepada Tuhan mereka.” (Al-Anfal: 2).
2.Pengenalannya kepada Allah Ta’ala meningkat ketika ia merealisir nama dan sifat Allah Ta’ala, seperti Al-Qadir (Mahakuasa), Ar-Razzaq (Pemberi rizki), Al-Muhyi (Dzat yang menghidupkan), Al-Mumit (Dzat yang mematikan), dan lain-lain. Ia pun makin dekat dengan-Nya.
3. Ia tak melakukan syirik dan tidak tertarik kepada apa saja selain Allah Ta’ala. Ia juga semakin mulia.
4. Ia makin ridha dengan takdir Allah Ta’ala. Inilah kepasrahan total hati kepada-Nya.
5. Hatinya tidak ada lagi takut kepada nakhluk. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu, takutlah pada mereka, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali Imran: 173).
6. Ia semakin mendapatkan petunjuk, dilindungi dari hal-hal buruk, dan seluruh kebutuhannya dicukupi. Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa ketika keluar rumah berkata, ‘Denganmenyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan-Nya,’ maka dikatakan kepadannya, ‘Engkau mendapatkan petunjuk, dilindungi, dan dicukupi.’ Setan berkata kepada setan lainnya, ‘Bagaimana engkau dapat menaklukkan orang yang telah mendapatkan petunjuk, dicukupi, dan dilindungi?’” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani).